Penentuan awal bulan Ramadhan

Posted on July 17, 2012 By

Rukyat atau hisab*

Penduduk negeri manapun juga tidak boleh menentukan awal dan akhir puasa Ramadhan  dengan ilmu hisab atau kalender, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam: “Berpuasalah kalian bila telah melihat hilal (bulan sabit Ramadhan) dan berbukalah bila telah melihat hilal (bulan sabit Syawal).  Jika kalian tidak melihat bulan sabit Ramadhan (karena tertutup awan) maka sempurnakanlah hitungan bulan Sya’ban menjadi tiga puluh,  jika dua orang telah melihat hilal maka berpuasalah dan berbukalah”. (HR. Bukhari Muslim).

Ini merupakan keputusan Al Majma’ Al Fiqhiy Al Islami (divisi fikih Rabitah Alam Islami) pada keputusan no.10: tentang memulai awal puasa Ramadhan harus dengan rukyah hilal bukan dengan ilmu hisab, dan juga keputusan no.16 tentang “apakah setiap negeri perlu badan rukyah sendiri atau cukup satu badan rukyah untuk seluruh Negara Islam? di antara keputusan tersebut berbunyi, “Islam adalah agama yang mudah dan  toleran, agama yang dapat diterima oleh akal dan naluri yang sehat , dan Islam mengandung ajaran kebajikan. Oleh karena itu, Islam menetapkan setiap awal bulan dengan cara rukyat (melihat langsung bulan sabit) dan bukan dengan ilmu hisab, sebagaimana ditegaskan oleh dalil-dalil qath’i (pasti)”.

Juga disebutkan dalam keputusan Majma’ Al Fiqh Al Islami (divisi fikih OKI) pada keputusan no.18 tentang: menyatukan awal masuk bulan Qomarih, yang berbunyi, “Penetapan awal bulan wajib ditentukan dengan rukyat (penglihatan mata manusia) berdasarkan hadis-hadis  Nabi dan fakta ilmiah, adapun ilmu hisab dan observatorium hanyalah sebagai alat bantu untuk rukyat”.

Dalam keputusan Majma’ al fiqh Al Islami (divisi fikih OKI) dapat ditarik dua kesimpulan:

Pertama: Boleh menggunakan observatorium sebagai alat bantu untuk melihat awal bulan, karena tidak disyaratkan dalam syariat untuk melihat hilal dengan mata telanjang, tetapi boleh menggunakan alat bantu apapun juga untuk melihat hilal yang menjadi penentu awal dan akhir bulan Ramadhan.

Dewan ulama besar kerajaan Arab Saudi telah memutuskan:  “Apabila hilal terlihat melalui observatorium dengan menggunakan teleskop maka keputusan bulan telah terbit wajib diamalkan, berdasarkan hadis Nabi “berpuasalah kalian karena telah melihat hilal”. Karena melihat awal bulan dengan alat bantu ini juga yakin telah terlihat, sekalipun tidak terlihat dengan mata telanjang”.

Sebagaimana juga keputusan Dewan Fatwa dan Riset keislaman Eropa, yang berbunyi, “Awal bulan dapat ditetapkan dengan penglihatan mata manusia baik dengan mata telanjang maupun  dengan observatorium”.

kedua:      Yang diisyaratkan oleh keputusan Majma’ Fiqh (OKI) di atas bahwa walaupun penetapan awal dan akhir bulan hanya didasarkan kepada penglihatan manusia, tetapi menjadikan ketetapan awal bulan berdasarkan ilmu hisab untuk memastikan kebenaran para saksi yang menyatakan dirinya telah melihat bulan sabit.

Setiap negri memiliki rukyat sendiri?

Apabila telah jelas, bahwa masuknya bulan dengan melihat hilal.  Maka apakah setiap negeri harus memiliki Badan Rukyat sendiri, atau apabila hilal terlihat di suatu negeri wajib puasa penduduk seluruh negeri?

Ulama fiqih terdahulu berselisih pendapat tentang hal ini, maka mayoritas fuqaha’ seperti Hanafiyyah, Malikiyyah dan Hanabilah: mereka tidak menganggap adanya perbedaan tempat terbit hilal dalam menetapkan bulan Ramadhan, artinya apabila telah terlihat hilal bulan Ramadhan di suatu negeri maka wajib puasa seluruh kaum muslimin diseluruh negeri, hal itu berdasarkan perkataan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, “berpuasalah kalian karena melihat hilal” perintah Nabi ini untuk seluruh umat.

Hal ini juga merupakan keputusan Majma’ Al fiqh Al Islami (divisi OKI) pada keputusannya no.18 tentang menyatukan awal bulan Qomariyah yang berbunyi sebagai berikut, “Apabila telah terlihat hilal disuatu negeri wajib seluruh kaum muslimin berpegang dengannya dan tidak boleh ada perbedaan tempat terbit hilal berdasarkan keumuman perintah untuk puasa dan berbuka”.

Senada dengan ini keputusan dewan fatwa dan riset Islam Eropa, bahwa menetapkan masuk bulan Ramadhan dengan terlihatnya hilal di negeri Islam manapun dengan syarat bahwa perhitungan hisab tidak menafikan secara pasti kemungkinan terlihat hilal di negeri manapun.

Ulama dari kalangan mazhab Syafi’iyyah menganggap adanya perbedaan tempat terbit hilal, dan mazhab ini yang dipilih oleh Al Majma’ Al fiqhiy Al Islami (divisi fiqih Rabita Alam Islami) yang berbunyi pada keputusannya no.16 tentang menyatukan hilal dan tidaknya,

Al Majma’ Al Fiqhiy Al Islami telah mempelajari masalah perbedaan tempat terbit hilal untuk terlihatnya hilal, maka berpendapat bahwa Islam adalah agama yang berlandaskan kemudahan dan toleransi, diterima oleh fitrah dan akal sehat manusia juga mengutamakan kemaslahatan. Maka dalam masalah melihat hilal Islam menetapkannya dengan penglihatan manusia tidak berpegangan pada ilmu hisab, sebagaimana yang dikuatkan dengan dalil dalil syari’at. Islam juga mengakui perbedaan tempat terbit bulan, Karena hal tersebut meringankan bagi manusia, inilah pendapat yang benar. Adapun seruan orang-orang yang mewajibkan bersatu dalam hari berpuasa dan lebaran, menyelisihi syari’at dan akal,  adapun dalil syari’at yaitu hadist yang datang dari Kuraib, bahwa ummul fadhal binti Al Harits mengutus Kuraib menghadap Muawiyah di Syam, ia berkata,  saya pergi ke Syam, maka sayapun melakukan yang diminta Ummu Fadhal,  masuklah bulan Ramadhan dan saya masih di Syam, saya melihat hilal malam jum’at kemudian saya kembali ke Madinah pada akhir bulan Ramadhan maka Abdullah bin Abbas menanyakanku, kemudian ia menyebutkan hilal seraya berkata, “kapan kalian melihat hilal? Maka saya berkata, “Kami melihatnya malam jum’at. Maka ia berkata: apakah engkau melihat sendiri? Maka saya menjawab, “Ya, dan orang-orang juga melihatnya, dan mereka berpuasa termasuk juga khalifah Muawiyah. Maka Ibnu Abbas berkata, “Akan tetapi kami melihatnya malam sabtu, maka kami berpuasa dengan menyempurnakan hingga 30 atau kami melihat hilal”.  Kuraib berkata: “Apakah tidak cukup bagi kita dengan penglihatan Muawiyah dan puasanya? Maka ia berkata, “Tidak, beginilah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan kami”. (HR. Muslim).

Imam Nawawi memberikan judul tentang hadist ini dalam kitabnya syarah muslim dengan perkataanya, “Bab penjelasan bahwa setiap Negara dengan penglihatan hilal sendiri, dan sesungguhnya apabila mereka melihat hilal di satu negeri tidak bisa ditetapkan hukumnya untuk negeri yang jauh dari mereka”.

Tidak ada yang mengingkari teori ini dari ulama yang menyebutkan hadist ini di kitab mereka,  seperti penulis kutub assittah dalam memberikan judul bagi hadist ini. Islam menggantungkan berpuasa dan lebaran dengan penglihatan manusia bukan lainnya, sebagaimana hadist dari ibnu umar radiallahuanhuma ia berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berkata: “janganlah kalian berpuasa hingga kalian melihat hilal dan jangan kalian berbuka hingga melihatnya, dan jika tertutup bagi kalian maka jadikanlah 30 hari”. HR. Bukhari dan Muslim.

Hadist ini menggantungkan hukum dengan sebab, yaitu terlihatnya hilal, terkadang didapati pada suatu negeri seperti Mekah dan Madinah dan tidak didapati pada negeri yang lain, yang mana di negeri tersebut masih siang, maka bagaimana mungkin mereka di suruh untuk berpuasa dan untuk berbuka.

ulama dari seluruh mazhab telah menetapkan : sesungguhnya perbedaan tempat terbit hilal pendapat yang kuat, maka ibnu Abdul bar telah meriwayatkan ijma’ bahwa tidak dianggap terlihatnya hilal pada negeri yang jauh: seperti Khurasan dengan negeri Andalus, oleh karena itu setiap negeri mempunyai hukum khusus dengan negeri tersebut.

Banyak dari kitab-kitab mazhab yang empat menyebutkan mengakui perbedaan tempat terbit hilal, karena ada dalil syari’at yang menjelaskannya, dengan melihat kitab-kitab fiqih akan memuaskan orang yang penasaran.

 Dalil akal: bahwa perbedaan tempat terbit tidak ada perbedaan seorangpun yang ahli di bidang tersebut, karena merupakan hal yang bisa dilihat, dan dihukumi dengan akal, dan ia sesuai dengan syariat dan akal, yang mana keduanya sepakat dalam membentuk mayoritas hukum, seperti waktu shalat.

Dengan melihat dari segi kenyataan akan memberikan pemahaman bagi kita bahwa perbedaan tempat terbit hilal merupakan sebuah kenyataan, oleh karena itu Majma’ Al Fiqhy Al Islami memutuskan: bahwa tidak perlu menyerukan untuk menyatukan hilal Ramadhan dan hari idul fitri di dunia Islam; karena menyatukannya tidak akan menjadikan kaum muslimin bersatu, sebagaimana yang disangka oleh orang-orang yang mengusulkan untuk menyatukan hilal dan hari idul fitri.

Dan menyerahkan permasalahan penetapan hilal kepada mufti di Negara Islam masing-masing, karena hal tersebut lebih baik dan lebih patut untuk mendapatkan kemaslahatan umum. Dan hanya saja yang menyatukan umat dan menjadikan merekan satu kata yaitu kesepakatan mereka untuk beramal sesuai kitab Allah dan sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam segala urusan mereka. Allahlah yang memberi taufik.

*Artikel ini ditulis oleh Dr. Muhammad Al Medhagi (Konsultan syariah senior di Al Rajhi Bank). Dan diterjemahkan oleh Erfandoni. Lc.

Uncategorized


Comments are closed.