Berbuka atau Berpuasa yang Afdhal bagi Musafir?

Posted on July 24, 2012 By

 

            Seperti sudah kita ketahui bahwa musafir boleh berbuka puasa sebagaimana Allah berfirman: “Barang siapa yang sakit atau dalam perjalanan maka mengganti puasa di hari yang lain”,

Ulama fiqih –Rahimahumullah- telah berselisih pendapat dalam menentukan jarak perjalanan yang dibolehkan mengambil rukhsah perjalanan. Ulama mazhab Hanafi mereka tidak menentukan jarak tapi menjadikan perjalanan yang memakan jarak tempuh tiga hari dengan berjalan biasa. Sedangkan jumhur fuqaha’ yaitu ulama mazhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali berpendapat bahwa perjalanan yang boleh ruhkshah yaitu perjalanan yang dianggap safar yaitu melebihi 80 km. Jarak bukan dihitung dari rumah musafir, tetapi dari batas kota tempat tinggalnya ke batas kota tujuan, harus lebih dari 80 km.

Ulama fiqih telah sepakat bahwa seorang musafir mendapatkan banyak keringanan dalam masalah hukum, dan keringanan itu karena sesungguhnya perjalanan melelahkan dan berat, bahkan perjalanan merupakan sebagian dari azab. Rasulullah SAW bersabda: “Perjalanan itu sebagian dari azab, yang menghalangi seseorang untuk makan dan minum, jika perjalanannya telah selesai maka segeralah ia menuju keluarganya”. (Muttafaqun’laihi)

Tetapi pertanyaan yang sering diajukan: jikalau perjalanan tersebut tidak ada kesulitan, seperti melakukan perjalanan dengan mobil atau pesawat terbang yang dilengkapi dengan tempat tidur yang nyaman dan ruangan ber-AC tidak ada kesusahan dalam perjalanan tersebut, apakah boleh mengambil keringanan puasa dalam perjalanan tersebut?

Jawaban : Para ulama telah menetapkan bahwa perjalanan sebab yang dibolehkan mengambil keringanan hukum, walau tidak ada dalam perjalanan tersebut kepayahan. Benar, bahwa kepayahan dalam perjalanan merupakan hikmah yang karenanya boleh mengambil keringanan (rukhsoh) bagi musafir, akan tetapi tatkala hikmah tersebut tidak ada ukuran, maka sesuatu yang dianggap kesulitan pada satu waktu, atau seseorang, terkadang menjadi tidak ada kesulitan pada waktu lain atau menurut orang lain. Maka perjalanan yang panjang merupakan kesulitan yang menjadi sebab  bolehnya mengambil rukhsoh.

Imam Qarafi berkata: “Sesungguhnya sifat yang dianggap dalam suatu hukum apabila memungkinkan terwujudnya tidak boleh berpaling kepada yang lain seperti sebab haramnya khamar karena memabukkan, sekalipun tidak terwujud mabuk tetap di posisikan hukum mabuk, karena tidak terjadinya mabuk boleh jadi disebabkan kadar yang berbeda. Sama halnya seperti kesusahan dalam perjalanan tatkala ia merupakan sebab untuk bolehnya meringkas sholat dan yang mana kesusahan tersebut tidak dapat diukur serta kemampuan manusia yang tidak sama dalam menahan kesusahan, terkadang tampak jelas dan terkadang tidak tampak, seperti ini sulit menetapkan standar hukumnya; maka dihukumi hanya dengan perkiraan yaitu 4 bard (lebih dari 80 km) yang diperkirakan terdapat padanya kesulitan dalam perjalanan”.

Walaupun  dengan berkembangnya sarana transportasi modern tidak dapat dipastikan tidak adanya kesusahan dalam perjalanan, karena sesungguhnya para musafir kebanyakan tidak tenang pikirannya dalam perjalanan, pikirannya selalu di was-was; seperti mobil rusak atau pesawat jatuh, dll. Kesusahan bisa saja datang tiba-tiba tanpa diperkirakan sebelumnya.

Oleh karena itu boleh berbuka bagi orang musafir, walaupun ia bersafar menggunakan pesawat atau mobil yang ber-AC atau pada waktu musim dingin. Boleh bagi musafir yang bersafar dengan pesawat untuk berbuka dan mengqhosor sholat dalam perjalanan satu jam atau kurang dari satu jam, selama masih dianggap perjalanan dan menempuh jarak perjalanan yang membolehkan untuk qhosor.

Boleh juga bagi orang yang terus menerus melakukan perjalanan tetapi mereka mempunyai keluarga dan tempat mukim seperti supir bus antar kota, sopir ekspedisi, pilot, masinis dan pramugarinya dan lain-lain untuk mengambil rukhsoh perjalanan, seperti bolehnya qoshor sholat dan berbuka puasa dalam perjalanan, karena pada hakikatnya mereka seorang musafir, dan mereka wajib mengganti apabila kembali kepada keluarga atau pada musim dingin karena demikian lebih meringankan mereka.

Mana yang afdhal bagi musafir,  berbuka atau berpuasa?

Terjadi perselisihan di antara ulama dalam hal ini, namun pendapat yang lebih kuat dengan dirinci seperti berikut ini :

  1. Jika musafir mendapatkan kesulitan dalam perjalanan walaupun sedikit maka yang lebih baik adalah berbuka karena perkataan Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Sesungguhnya Allah lebih mencintai untuk diambil keringananNya sebagaimana mencintai melakukan kewajiban-kewajiban yang ia wajibkan” dan pada riwayat yang lain “Sebagaimana ia membenci orang-orang yang melakukan maksiat-maksiat”.
  2. Jika musafir menemui kepayahan yang sangat besar maka Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ”Bukanlah suatu kebaikan berpuasa dalam suatu perjalanan”.
  3. Jika tidak adanya kesusahan dalam perjalanan maka tidak diragukan lagi lebih baik berpuasa.

Karena sesungguhnya berpuasa saat ini lebih cepat dalam menunaikan kewajiban dan memudahkan juga bagi mukallaf. Berpuasa bersama-sama dengan orang yang berpuasa di bulan Ramadhan lebih mudah, daripada menggantinya dihari yang lain. Ini juga yang dilakukan oleh Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam; yang mana  ia berpuasa dalam perjalanan karena ia tidak terbebani berpuasa pada perjalanan sebagaimana orang lainnya.

Puasa