Apakah Berbekam Membatalkan Puasa?
Ulama fiqih sepakat mengeluarkan darah secara tidak sengaja tidak membatalkan puasa, sebagaimana darah keluar dari hidung yang dinamakan dengan epistaksis (mimisan), atau keluar di sela-sela giginya atau menggaruk kulitnya karena terpaksa hingga mengeluarkan darah, atau keluarnya darah penyakit (istihadoh) pada perempuan.
Hal tersebut karena alasan berikut ini:
- Tidak segaja dan ia tidak dapat mencegah darah keluar
- Mewajibkan mengganti puasa pada orang yang keluar darah akibat luka atau bisul, mimisan, gusi berdarah saat bersiwak merupakan hal yang memberatkan.
Syariat datang berlandaskan toleransi dan kemudahan, Allah berfirman: “Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu”. (Al Baqarah : 185)
“Dan dia sekali kali tidak menjadikan utuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (Al Hajj : 78)
“Allah tidak membebani seseorang melainkan seseuai dengan kesanggupannya”. (Al Baqarah : 286).
Adapun mengeluarkan darah dari tubuh dengan secara sengaja seperti berbekam, hukumnya masih diperselisihkan.
Disebutkan dalam sahih Bukhari dan Muslim bahwa Nabi Salallahu’alaihi wasallam berbekam dan memberikan upah pada orang yang membekam. Nabi salallahu ‘alaihi wassallam ia berkata : “Sebaik-baik kalian untuk berobat adalah berbekam”.
Bekam ada dua jenis,
- Bekam kering yaitu meletakkan gelas pada tempat yang tertentu sesuai jenis penyakitnya, kemudian menyedot udara melalui selang (adakalanya melalui mulut atau dengan menggunakan alat penyedot atau dengan kertas yang dibakar) sehingga kosonglah udara di dalam gelas, dengan hal tersebut tersedotlah bagian permukaan kulit yang di dalam gelas dan dibiarkan gelas tersebut selama 3-5 menit, kemudian dicabut gelas ketika didapati daerah merah pada permukaan kulit pada area mulut gelas.
Bekam kering tidak mempengaruhi puasa karena tidak ada darah yang dikeluarkan, hanya saja tujuannya membuat darah berkumpul yang membantu menghilangkan sebagian penyakit dengan izin Allah Ta’ala.
2. Bekam basah yaitu bekam yang sudah dikenal sejak dahulu dengan menancapkan gelas di daerah yang diinginkan dengan cara mengosongkan udara di dalam gelas tersebut. Maka meluaslah permukaan yang di dalam gelas tersebut, juga tertarik darah dan terus berkumpul di daerah ini. Kemudian gelas dilepaskan dan dilakukan penyayatan di permukaan kulit tersebut dengan mata pisau yang steril. Lalu ditancapkan gelas tersebut sekali lagi, maka gelas tersebut menyedot darah yang rusak. Hal ini dilakukan berulang-ulang hingga dianggap cukup.
Diperkirakan jumlah darah kotor yang keluar pada proses pembekaman dalam satu kali kira-kira 100-150gram, jumlah ini lebih sedikit dari pada jumlah yang diambil ketika donor darah. Pada donor, darah yang diambil sejumlah450gram.
Ulama dahulu berselisih pendapat tentang hukum bekam, mayoritas fuqoha mazhab Hanafi, Maliki, dan Syafi’i berpendapat bahwa bekam tidak membatalkan puasa. Mereka berdalil dengan hadits yang diriwayatkan imam Bukhari dari Ibnu Abbas bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan bekam ketika sedang ihram dan ketika puasa.
Juga hadits yang diriwayatkan oleh imam Bukhari, dari Anas bin Malik ia ditanyakan orang : “Apakah kalian dahulu memakruhkan bekam?” ia menjawab: “Tidak, kecuali menyebabkan lemah“, dan dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Said Al Khudri, ia berkata: “Rasulullah SAW memberikan keringanan bagi orang yang berpuasa untuk berbekam”.
Ulama mazhab Hanbali berpendapat berbekam membatalkan puasa, mereka berdalilkan dengan hadits Syaddat bin Aus, ia berkata “Adalah kami dahulu bersama Rasulallahu’alaihi wasallam waktu pembebasan kota Mekah, maka beliau melihat seorang yang sedang berbekam pada hari ke-19 di bulan Ramadhan maka ia berkata sambil menarik tanganku: “Batallah puasa orang yang membekam dan dibekam”.
Mayoritas fuqaha’ menjawab hadis yang menjadi dalil ulama mazhab Hanbali bahwa hadits tersebut hukummya dihapuskan (mansukh) oleh hadits ibnu Abbas yang menyatakan bahwa Nabi SAW melakukan bekam saat ia sedang berpuasa. Hadits ibnu Abbas terjadi dua tahun setelah hadis Syaddat bin Aus, yaitu saat Haji Wada’. Dan mengambil hukum dari hadis yang terakhir lebih utama.
Dalil bahwa ada penghapusan hukum terhadap hadis Abu Said Al Khudri bahwasanya keringanan datang setelah kewajiban, sehingga hadits Abu Said Al Khudri ini menghapuskan hukum hadis Syaddat bin Aus.
Maka pendapat yang terkuat yaitu pendapat jumhur fuqaha’ bahwa berbekam tidak membatalkan puasa, tetapi lebih baik bagi orang berpuasa menghindarinya.
Imam Syafi’i berkata “jika salah seorang berpuasa dan menghindari berbekam itu lebih baik menurutku dan lebih berhati-hati sehingga tidak menjadikannya lemah berpuasa sehingga ia membatalkan puasanya”. Akan tetapi apabila sangat membutuhkan berbekam bagi orang yang berpuasa disebabkan untuk pengobatan dan tidak mungkin menundanya maka tidak mengapa untuk berbekam dan tidak membatalkan puasa, dan jika ia lemah setelah berbekam sehingga butuh untuk membatalkan puasa maka tidaklah mengapa karena dia dihukumi seperti orang yang sakit.
Disarikan dari : Ahkamun Nawazil Fihs Shiyaam (Dr Muhammad Al Madhaghi)