Murabahah Emas:

Murabahah emas adalah salah satu bentuk jual beli emas dengan cara tidak tunai, yaitu: seorang nasabah datang ke salah satu bank syariah mengungkapkan maksudnya untuk membeli emas batangan dengan berat sekian seraya membayar uang muka. Lalu bank membeli emas yang dimaksud dan dijadikan barang gadai yang dipegang oleh bank hingga angsuran lunas barulah emas diserahkan kepada nasabah.

Dari deskripsi ini sangat jelas bahwa akad murabahah emas antara nasabah dan bank syariah tidak tunai, akad jual beli dan uang muka terjadi di depan namun barang diserahkan setelah beberapa bulan ketika angsuran lunas dibayar. Apakah akad ini termasuk riba ba’i atau tidak?

Dewan Syariah Nasional mengeluarkan fatwa yang membolehkan jual-beli emas secara tidak tunai nomor: 77/DSN-MUI/V/2010 yang berbunyi, “Jual beli emas secara tidak tunai, baik melalui jual beli biasa atau jual beli murabahah, hukumnya boleh (mubah, jaiz) selama emas tidak menjadi alat tukar yang resmi (uang)[1].

Fatwa ini merujuk kepada pendapat Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim yang membolehkan menukar emas perhiasan dengan dinar (uang emas) dengan cara tidak sama beratnya dan tidak tunai karena emas adalah perhiasan dan bukan mata uang, dengan demikian emas perhiasan telah keluar dari illat uang emas dinar, yaitu tsamaniyah. Maka emas perhiasan tak ubahnya barang dagangan yang boleh ditukar dengan mata uang emas (dinar) dengan cara tidak tunai dan tidak sama beratnya.

Ibnu Taimiyah berkata, “Emas dan perak dalam bentuk perhiasan yang ada unsur buatan manusia tidak disyaratkan menjualnya dengan yang sejenis (dinar/dirham) sama beratnya, karena nilai tambah pembuatan emas perhiasan. Jual beli boleh dilakukan tunai ataupun tidak tunai, selama perhiasan emas dan perak tersebut tidak dimaksudkan sebagai tsaman (harga, uang)[2].

Ibnu Qayyim memperkuat pendapat tersebut dengan memberikan argumen bahwa perhiasan emas dan perak telah keluar dari fungsi emas dinar dan perak dirham sebagai alat tukar menjadi barang dagangan biasa[3].

Tanggapan:

  1. Dalam istilah ilmu ushul fiqh cara DSN mengambil dalil dinamakan dengan takhrij, yaitu menganalogikan bolehnya murabahah emas dengan pendapat yang membolehkan menjual perhiasan emas dengan uang emas secara tidak tunai. Agar hukum yang ditakhrij (dianalogikan) menjadi kuat maka disyaratkan bahwa pendapat almukharraj minhu (dalam hal ini bolehnya menjual perhiasan emas dengan uang emas dengan cara tidak tunai) haruslah pendapat yang rajih (kuat). Namun sayang, persyaratan ini tidak terpenuhi karena pendapat ini sangat lemah dan bertentangan dengan pendapat mayoritas ulama bahkan beberapa ulama menukil bahwa pendapat tersebut bertentangan dengan Ijma’.

Ibnu Hubairah (wafat th: 560H) berkata, “Umat Islam telah sepakat bahwa tidak boleh menukar emas dengan emas, atau perak dengan perak, baik yang masih berbentuk bahan baku, berbentuk mata uang, ataupun berbentuk perhiasan dengan cara tidak tunai dan tidak sama beratnya. Ini merupakan riba nasiah dan riba fadhl. Dan umat Islam juga sepakat bahwa boleh menukar emas dengan perak dengan ukuran yang berbeda akan tetapi haram dilakukan dengan cara tidak tunai[4].

Ibnu Juzay (wafat th: 741H) berkata, “Para ulama sepakat bahwa haram hukumnya menukar emas dengan perak, atau emas dengan emas, atau perak dengan perak, baik berbentuk bahan baku ataupun telah diubah menjadi perhiasan dengan cara tidak tunai. Akan tetapi serahterima kedua barang wajib dilakukan tunai[5].

Oleh karena pendapat ini terlalu lemah sehingga Majma’ Al Fiqh Al Islami (divisi fikih OKI) tidak menganggap pendapat ini dalam muktamar di Abu Dhabi pada tahun 1995 dengan keputusan yang berbunyi, “Menekankan kembali pendapat seluruh para ahli fikih yang melarang menukar emas perhiasan dengan yang tidak perhiasan dengan ukuran yang tidak sama“.

  1. Setelah mengetahui bahwa pendapat ini syaz (tidak populer) dikarenakan jelas-jelas bertentangan dengan hadis yang mewajibkan menukar emas dengan emas dengan cara tunai. Juga hadis tersebut mutlak melarang menukar emas dengan emas dengan cara tidak tunai; baik emas perhiasan ataupun emas sebagai mata uang, dan tidak ada satupun dalil yang mentaqyid (mengikat) kemutlakan emas tersebut maka mengkhususkan larangan hanya untuk emas sebagai mata uang termasuk mentaqyid dengan tanpa dalil. Adapun dalil bahwa dengan adanya unsur pembuatan manusia menjadikan emas perhiasan keluar dari emas yang dimaksud pada masa Nabi shallallahu alaihi wa sallam sebagai alat tukar tidak dapat dibenarkan, karena emas yang menjadi alat tukar di masa Nabipun terdapat unsur pembuatan manusia dalam bentuk ukiran gambar, ornamen, dan tulisan.
  2. Kemudian dalil bahwa illat riba emas adalah tsamaniyah (uang sebagai alat tukar) dan bila illat ini hilang dari emas karena sekarang emas bukan lagi sebagai alat tukar telah diganti dengan uang kartal maka emas dianggap sama dengan barang lainnya boleh ditukar dengan uang kartal dengan cara tidak tunai, sangat lemah dari tinjauan kaidah ushul fiqh. Karena persyaratan keabsahan sebuah illat mustanbathah bahwa illat tersebut tidak boleh menafikan illat Maka illat tsamaniyah yang sifatnya ijtihad para ulama tidak boleh menafikan illat emas yang dijelaskan Nabi secara tekstual[6].

Lebih tegas lagi syaikh Ibnu Bayyah (ulama senior ketua majelis fatwa Eropa) menjelaskan dalam bukunya Maqashid Al Muamalat, “Illat mustanbathah (illat yang berasal dari ijtihad para ulama) tidak mungkin dapat membatalkan hukum yang diillatinya ketika illatnya tidak terdapat pada hukum tersebut. Seperti illat tsamaniyah pada emas dan perak ketika emas dan perak tidak lagi sebagai alat tukar maka ketiadaan illat tsamaniyah pada emas dan perak tidak berpengaruh pada hukum riba emas dan perak. Karena riba emas dan perak dinashkan oleh pembuat syariat (Nabi) maka tidak mungkin dibatalkan oleh Illat mustanbathah. Juga dari tinjauan maqashid syariah yang lain maqshad larangan menukar emas dan perak secara tidak tunai merupakan maqshad utama dan sangat jelas maka tidak mungkin dinafikan oleh maqshad pengikut (yaitu: tsamaniyah) yang derajatnya zhanni[7].

  1. Andai pendapat Ibnu Taimiyah kita anggap sebagai pendapat yang kuat, tetap juga tidak dapat dibenarkan menarik hukum boleh menukar uang kartal dengan emas seperti yang dipraktikkan oleh bank syariah, karena Ibnu Taimiyah tidak membolehkan secara mutlak beliau mengikatnya selama emas tidak dimaksudkan sebagai tsamaniyah (alat tukar, harga). Persyaratan ini tidak terpenuhi pada praktik bank syariah karena emas yang dijual secara murabahah oleh pihak bank bukanlah emas perhiasan akan tetapi emas batang yang memang dimaksudkan sebagai investasi, sedangkan menjadikan emas sebagai investasi juga merupakan salah satu fungsi uang[8].
  2. Fatwa DSN yang membolehkan jual beli emas tidak tunai membuka celah menghalalkan riba jahiliyah.

Misalnya:

seorang rentenir dengan sangat mudah mengakali riba dengan cara: ia menyerahkan uang tunai kepada seorang kreditur sejumlah 10juta rupiah dengan imbalan emas sebanyak 20g yang akan diterima setelah 3bulan. Padahal harga emas saat akad dibuat hanyalah Rp.560.000,00 per gram. Maka sepuluh juta rupiah seharusnya sebanyak 17,8g emas. Pada saat penyerahan emas maka rentenir menerima 20g emas yang harganya pada saat ia menyerahkan uang tunai 10 juta = 11 juta 200ribu rupiah. Dengan cara jual-beli emas tidak tunai rentenir sudah mendapat pertambahan nilai utang sebanyak 1juta 200ribu belum lagi pertambahan nilai utang akibat kenaikan harga emas dan penurunan nilai tukar mata uang akibat inflasi.

Dari deskripsi di atas sangat jelas bahwa konsekuensi dari fatwa membolehkan jual beli emas tidak tunai merupakan jalan untuk terbukanya secara luas praktik riba jahiliyah dalam bentuk pertambahan nilai utang. Walllahu al musta’an.

  1. Fatwa DSN yang membolehkan jual beli emas secara tidak tunai bertentangan dengan panduan perbankan syariah internasional yang dibuat oleh AAOIFI yang menyatakan dalam Bab: Al Murabahah lil Amir Bisysyira’, No. 2.2.6: yang berbunyi,

لاَ يَجُوْزُ إِجْرَاءُ المُرَابَحَةِ المُؤَجَّلَةِ فِيْ الذَّهَبِ أَوْ الفِضَّةِ أَوْ العُمْلاَت

Jual beli Murabahah tidak tunai tidak boleh dilakukan pada objek emas, perak, atau mata uang[9].

Setelah menjelaskan tanggapan terhadap fatwa DSN di atas maka sangat nyata kelemahan fatwa tersebut dan perlu dikaji ulang, semoga Allah menuntun ke jalan yang lurus.

[1]     Himpunan Fatwa DSN, jilid II hal 287.

[2]     Al Ba’ly, Al Ikhtiyaraat Al Fiqhiyyah, hal 188.

[3]     I’laam Al Muwaqqi’in, jilid 2, hal 108.

[4]     Ikhtilaf Al Aimmah Al Ulama, jilid 1, hal 358.

[5]     Al Qawanin Al Fiqhiyyah, hal 275.

[6]     Lihat : Az Zarkasyi, Al Bahr Al Muhith fi Ushul Al Fiqh, jilid 7, hal 193.

[7]     Hal 64-65.

[8]     Lihat: Rafiq Al Mishri, Ahkam ba’i huly az zahab wa al fidhdhah, hal 60-61.

[9] Al Ma’ayir Asyar’iyyah, hal 93.