Seorang muslim yang hidup di akhir zaman ini, sekalipun ia telah berusaha untuk mencari harta dengan cara halal atau telah bertaubat dari hartanya yang haram, namun dia tidak hidup sendiri di atas muka bumi. Ia tidak akan terlepas dari bermuamalah dengan orang lain. Jika ia menemukan rekan transaksi seorang yang mendapatkan hartanya dengan jalan yang haram, bolehkah dia melakukan transaksi halal dengannya? Seperti dia diundang oleh salah seorang kerabat untuk menghadiri jamuan makan, padahal dia tahu bahwa kerabatnya ini seorang koruptor, atau dia menjual sebidang tanah kepada seseorang yang berprofesi sebagai rentenir. Apakah boleh dia melakukan transaksi dengannya?
Ada dua kemungkinan yang biasa ditemui, pertama seorang muslim tadi mengetahui dengan jelas bahwa harta yang dijadikan objek transaksi oleh rekannya adalah harta yang diperolehnya dengan cara haram, seperti rekannya menuturkan bahwa ini adalah hasil korupsi atau riba.
Yang kedua, ia sebatas menduga bahwa objek transaksi berasal dari harta haram, seperti rekannya adalah seorang yang dikenal sebagai koruptor namun di samping itu rekan ini juga memiliki usaha yang halal, mungkin saja harta yang diberikan oleh rekannya dalam transaksi adalah harta haram dan mungkin juga harta itu diambilnya dari usahanya yang halal.
7.1 Bermuamalat dengan orang yang diyakini bahwa seluruh hartanya haram
Sebuah harta haram, bisa jadi keharamannya melekat pada zatnya seperti najis atau benda yang diharamkan, dan bisa jadi keharamannya tidak melekat pada zatnya, hanya karena cara mendapatkannya yang diharamkan, adapun zatnya tidaklah haram, seperti uang riba. Dimana sifat keharaman ribanya tidak melekat pada fisik uang, hanya saja cara perpindahannya dari tangan pertama ke tangan kedua melalui proses riba yang diharamkan.
Maka ketika seseorang yakin bahwa uang riba tersebut yang digunakan oleh rekan transaksinya untuk pembayaran sebuah transaksi yang halal, apakah sifat haramnya berpindah kepada tangan ketiga?
Menurut kaidah syariat bahwa sifat haram ini tidak melekat pada fisik uang dan dosa riba hanya ditanggung oleh tangan pertama dan kedua saja dan tidak menjalar kepada tangan ketiga. Karena tangan ketiga mendapatkan uang itu dari tangan kedua melalui transaksi halal.
Akan tetapi, jika tangan ketiga mengetahui benar bahwa uang itu berasal dari uang riba berdasarkan pengakuan pihak kedua umpamanya, apakah boleh juga tangan ketiga melakukan transaksi yang halal dengan tangan kedua?
Dalam kasus ini, tangan ketiga tidak boleh bermuamalah dengan tangan kedua, bukan disebabkan bahwa fisik uangnya haram, akan tetapi karena tindakannya tersebut menunjukkan bahwa ia menyetujui perbuatan riba yang dilakukan oleh tangan kedua dan dengan muamalah tersebut uang riba yang berada pada tangan kedua –hakikatnya bukanlah milik tangan kedua- berpindah ke tangan ketiga dan melambatkan tangan kedua untuk bertaubat karena uang tersebut telah berpindah ke tangan ketiga.
Atas dasar ini para ulama mengharamkan bermuamalah dengan orang yang diyakini bahwa uang yang diberikannya dalam muamalah tersebut adalah uang haram.
AsySyirazi berkata, “Bermuamalah dengan orang yang diketahui bahwa seluruh hartanya berasal dari yang haram tidak dibolehkan … Az Zuhri pernah melarang tuan -pemilik seorang budak wanita berzina yang mendapatkan uang yang banyak- agar tidak memakan uang hasil perzinahan budaknya, karena Nabi melarang upah hasil perzinahan“[1].
Ibnu Taimiyah berkata, “Setiap harta yang merupakan hasil perampokan, atau didapatkan melalui transaksi yang dilarang syariat, jika seorang muslim mengetahuinya hendaklah ia menghindari harta tersebut. Maka jika engkau mengetahui bahwa seseorang memperoleh uang dengan cara mencuri, atau berkhianat terhadap amanah yang dititipkan kepadanya, sungguh engkau tidak boleh mengambil uang tersebut, baik melalui hibah dari pencurinya, atau pembayaran atas penjualan sebuah barang, atau pembayaran upah atas jasa yang diberikannya kepada pemegang uang curian, atau pembayaran hutang, karena uang itu adalah zat uang yang dizalimi“[2].
Maksud kalimat“uang itu adalah zat uang yang dizalimi” bahwa dengan berpindahnya uang haram tersebut ke pihak lain mengakibatkan pihak pertama terhalangi untuk bertaubat dengan mengembalikan uang tersebut kepada pemiliknya jika didapatkan dengan tanpa saling ridha, atau menyalurkannya untuk kemaslahatan umum jika didapatkan dengan saling ridha yang diharamkan syariat, seperti riba.
Ibnu Rajab berkata, “Jika diketahui dengan pasti bahwa sebuah harta diperoleh dengan cara haram maka haram hukumnya menerima uang tersebut. Ibnu Abdul Barr menyatakan bahwa hukum haram ini merupakan ijma’ para ulama“[3].
Al Haththab (954H) berkata, “Seseorang yang memperoleh harta dengan cara haram dan harta tersebut masih utuh di tangannya hendaklah dia mengembalikannya kepada pemiliknya … Harta tersebut jika berbentuk barang maka tidak boleh bagi orang yang mengetahuinya untuk membelinya, jika berbentuk uang tidak boleh diterima sebagai pembayaran, jika berbentuk makanan tidak boleh ikut memakannya, dan tidak boleh menerima jika dihadiahkan kepadanya. Dan barangsiapa yang melakukan hal tersebut maka ia juga termasuk ikut merampas harta itu dari pemiliknya yang sah“[4].
Hal ini berdasarkan dalil-dalil berikut:
- Diriwayatkan dari seorang Anshar bahwa seorang wanita mengundang Nabi shallallahu alaihi wa sallam untuk makan di rumahnya. Tatkala Nabi akan menggigit daging beliau bersabda,
«أَجِدُ لَحْمَ شَاةٍ أُخِذَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ أَهْلِهَا»
“Aku tahu bahwa daging kambing ini diperoleh dengan tanpa izin pemiliknya“.
Wanita itu berkata, “Wahai Rasulullah, aku mengutus seseorang untuk membeli kambing tetapi dia tidak mendapatkan kambing. Lalu aku mengutusnya untuk membeli kambing dari tetanggaku yang baru membeli seekor kambing. Ternyata suaminya tidak ada. Lalu aku mengutusnya ke istri tetangga tersebut dan diapun memberikan kambing kepadaku (tanpa seizin suaminya)“.
Maka Nabi bersabda,
«أَطْعِمِيهِ الْأُسَارَى»
“Berikanlah daging ini kepada para tawanan (fakir miskin)“. (HR Abu Daud, dan dinyatakan shahih oleh Al Albani).
Hadis ini menjelaskan bahwa benda yang diketahui diperoleh dengan cara haram tidak boleh diterima oleh pihak kedua, sekalipun dalam bentuk hadiah. Dan harta haram ini haruslah disalurkan untuk kaum fakir miskin.
- Atsar yang diriwayatkan dari Abu Bakar Shiddiq radhiyallahu anhu bahwa tatkala ia mengetahui bahwa roti yang dimakannya diperoleh dengan cara haram maka beliau memuntahkan kembali roti yang telah masuk ke perutnya. (HR. Bukhari).
Atsar ini menunjukkan bahwa harta yang didapatkan dengan cara haram tidak boleh dikonsumsi.
7.2 Bermuamalat dengan orang yang hartanya bercampur antara haram dan halal
Setelah mengetahui bahwa haram hukumnya bermuamalah dengan orang yang diyakini bahwa seluruh hartanya adalah haram atau harta yang digunakannya untuk bermuamalah adalah harta haram, akan dijelaskan hukum bermuamalah dengan orang yang hartanya diyakini bercampur antara yang halal dan haram dan tidak diketahui bahwa harta yang digunakannya untuk bermuamalah adalah hartanya yang haram?
Para ulama berbeda pendapat tentang hal ini.
Pendapat pertama: boleh bermuamalah dengan dengan orang yang sebagian besar hartanya halal dan tidak boleh bemuamalah dengan orang yang sebagian besar hartanya haram. Ini pendapat sebagian ulama mazhab Hanafi dan Hanbali.
Ibnu Nujaim berkata, “Jika seseorang memberikan hadiah, sedangkan sebagian besar hartanya berasal dari yang halal, maka boleh menerima hadiahnya dan juga boleh memakan makanan yang disuguhkannya selama tidak diketahui bahwa itu berasal dari hartanya yang haram. Dan jika sebagian besar hartanya haram maka tidak boleh diterima hadiahnya dan tidak boleh memakan makanannya“[5].
Ibnu Rajab berkata, “Imam Ahmad pernah ditanya tentang harta halal bercampur dengan harta haram, ia menjawab, “Jika yang halal lebih banyak maka keluarkan yang haram dan pergunakanlah sisanya. Dan jika yang haram lebih banyak maka jauhilah seluruhnya“[6].
Dalil pendapat ini bahwa bila yang halal bercampur dengan yang haram maka yang haram lebih kuat dan hukumnya berubah menjadi haram.
Akan tetapi dalil ini tidak kuat, karena bertentangan dengan perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Pendapat kedua: makruh hukumnya bermuamalah dengan orang yang hartanya bercampur antara yang halal dan haram, baik yang haramnya banyak maupun sedikit. Ini pendapat sebagaian ulama mazhab Syafi’i.
As Syairazi berkata, “Seseorang yang hartanya bercampur antara yang halal dan haram, makruh hukumnya berjual-beli dengannya“[7].
As Suyuthi berkata, “Bermuamalah dengan orang yang sebagian besar hartanya berasal dari yang haram hukumnya makruh menurut pendapat yang terkuat dalam mazhab“[8].
Pendapat ini berdalil dengan hadis yang diriwayatkan oleh Nu’man bin Basyir radhiyallahu anhu, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«إِنَّ الْحَلَالَ بَيِّنٌ وَالْحَرَامَ بَيِّنٌ، وَبَيْنَهُمَا أُمُورٌ مُشْتَبِهَاتٌ لَا يَعْلَمُهَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ، فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ، فَقَدِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَلِعِرْضِهِ، وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ فَقَدْ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ»
“Sesungguhnya sesuatu yang halal telah jelas dan sesuatu yang haram telah jelas, di antara keduanya ada sesuatu yang hukumnya masih samar dan tidak banyak manusia yang mengetahuinya. Maka siapa yang menjauhi hal yang samar tersebut niscaya agama dan kehormatannya terpelihara, dan siapa yang melakukan hal yang samar berarti ia telah jatuh dalam sesuatu yang haram”. (Muttafaq alaih).
Hadis di atas menjelaskan bahwa sesuatu yang tidak jelas kehalalan dan keharamannya disebut syubhat yang harus ditinggalkan karena dapat mengantarkan kepada yang haram. Dan harta yang bercampur antara halal dan haram juga tidak jelas keharaman dan kehalalannya maka termasuk juga harta syubhat yang harus dihindari[9].
Pendapat ketiga: bermuamalah dengan orang yang hartanya bercampur antara halal dan haram hukumnya boleh. Ini pendapat yang dipilih oleh banyak para ulama.
Ibnu Hajar berkata, “Boleh hukumnya bermuamalah dengan orang yang hartanya bercampur antara yang halal dan haram“[10].
Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu pernah ditanya tentang hukum menghadiri jamuan makan yang dibiayai oleh seseorang yang terang-terangan melakukan riba, ia berkata, “Hadirilah undangannya! Selamat menikmati hidangan dan dosa riba hanya ditanggung oleh pelakunya“[11].
Pendapat ini berdasarkan perbuatan Nabi shallallahu alaihi wa sallam bermuamalah dengan orang Yahudi padahal Allah telah menetapkan bahwa Yahudi adalah pemakan riba dan harta haram. Allah berfirman,
)أَكَّالُونَ لِلسُّحْتِ(
“Mereka itu (Yahudi) adalah orang-orang … banyak memakan yang haram“. (Al Maidah: 42).
)وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ(
“Dan disebabkan mereka (Yahudi) memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya“. (An Nisaa: 161).
Meskipun demikian Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tetap bermuamalah dengan mereka. Sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari bahwa Nabi menerima hadiah dari orang Yahudi pada saat perang Khaibar berupa daging kambing yang telah diberi racun.
Juga diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu anha, ia berkata,
«اشْتَرَى مِنْ يَهُودِيٍّ طَعَامًا إِلَى أَجَلٍ، وَرَهَنَهُ دِرْعَهُ»
“Rasulullah membeli makanan dengan cara tidak tunai dari seorang Yahudi dan menggadaikan baju besi beliau kepadanya“. (HR. Bukhari).
Wallahu a’lam, pendapat yang membolehkan bermuamalah dengan orang yang hartanya bercampur antara halal dan haram adalah pendapat yang kuat, berdasarkan perbuatan Nabi shallallahu alaihi wa sallam, dan ini pendapat yang dipilih oleh imam Nawawi. Al Malibari (ulama mazhab syafii wafat: 987H) berkata, “Bermuamalat dengan orang yang sebagian besar hartanya haram boleh dan boleh memakan pemberiannya, sebagaimana dikuatkan oleh An Nawawi dalam Al Majmu’“[12].
Catatan:
Perlu diingat bahwa perbedaan pendapat para ulama ini untuk kasus yang memang ditemukan tanda-tanda bahwa rekan transaksinya memperoleh harta dengan cara haram. Adapun jika tidak terdapat tanda-tanda ia memperoleh harta dengan cara haram maka hukumnya boleh dan tidak perlu ditanyakan kepadanya darimana harta tersebut berasal. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمْ عَلَى أَخِيهِ الْمُسْلِمِ فَأَطْعَمَهُ فَلْيَأْكُلْ مِنْ طَعَامِهِ، وَلَا يَسْأَلُهُ عَنْهُ، وَإِنْ سَقَاهُ شَرَابًا فَلْيَشْرَبْ مِنْ شَرَابِهِ وَلَا يَسْأَلُهُ عَنْهُ»
“Apabila salah seorang diantaramu masuk ke rumah seorang muslim, lalu ia menghidangkan makanan maka makanlah dan jangan tanyakan darimana makanan tersebut berasal. Dan jika disuguhkan minuman maka minumlah dan jangan tanyakan darimana minuman tersebut berasal“. (HR. Ahmad. Hadis ini dihasankan oleh Arnauth).
Ibnu Taimiyah berkata, “Barang siapa yang tidak mau bermuamalah dengan seorang muslim yang tidak dikenalnya dengan alasan khawatir mendapatkan harta yang haram sungguh ia telah membuat suatu bid’ah yang diada-adakan dalam agama Allah yang tidak berdalil“[13].
Sebelum Ibnu Taimiyah, An Nawawi telah berkata, “Boleh berjual-beli dengan orang yang tidak dikenal, juga boleh menerima hadiah dan jamuannya dan tidak perlu menanyakan sumber hartanya, karena dapat menyakiti perasaan orang yang memberikan makan (kebaikan) … Dan karena para shahabat Nabi tidak pernah bertanya kepada lawan transaksi setiap melakukan akad akan sumber hartanya“[14].
[1] Al Muhazzab, jilid II, hal 21.
[2] Majmu’ Al Fatawa, jilid XXIX, hal 323.
[3] Jami’ Al ‘Ulum wal hikam, hal 202.
[4] Mawahibul Jalil, jilid V, hal 279.
[5] Al Asybah wan Nazhair, hal 125.
[6] Jami’ Al Ulum wal Hikam, hal 183.
[7] Al Muhazzab, jilid IX, hal 417.
[8] Al Asybah wan Nazhair, hal 107.
[9] Dr. Abbas Al Baz, Ahkam Al MaalHaram, hal 248.
[10] Fathul baari, jilid V, hal 141.
[11] Jami’ Al Ulum wal Hikam, hal 202.
[12] Fathul Mu’in, hal 309.
[13] Majmu’ Al Fatawa, jilid 29, hal 323.
[14] Al Majmu’, jilid 29, hal 345.