Ghisysy (penipuan) ternyata bukan saja dipraktikkan di dunia niaga. Di dunia pendidikan mulai dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi praktik ghisysy tidak asing lagi, dilakukan oleh perorangan ataupun massal. Praktik ini dikenal dengan curang, menyontek pada saat ulangan umum. Juga termasuk dalam bentuk ghisysy tindakan plagiat dalam karya ilmiah yang menjadi syarat kelulusan. Dan ghisysy yang lebih tinggi lagi adalah praktik jual-beli ijazah.
Tradisi ghisysy ini telah mengakar dan membudaya di tengah sebagian masyarakat Indonesia, sehingga pada saat ada salah seorang yang membongkar praktik ghisysy pada Ujian Nasional di salah satu Sekolah Dasar di sebuah kota, bukannya ia mendapat dukungan dari masyarakatnya, malah ia dikucilkan dan diusir dari rumahnya sendiri oleh orang-orang di sekitarnya. Dan di salah satu daerah lainnya agar ghisysy tidak terjadi di sekolah-sekolah pasukan keamanan dengan seragam lengkap harus mengawal pendistribusian soal ujian.
Gejala ini sangat menyedihkan, karena anggota masyarakat yang telah menganggap lumrah praktik ghisysy di lembaga pendidikan mayoritasnya adalah umat Islam. Tentulah kejahatan ini diakibatkan karena mereka telah menjauh dari agama mereka yang menjunjung tinggi kejujuran dan menumpas segala bentuk penipuan.
Islam telah mengharamkan persaksian palsu dan menempatkan dosa ini dalam jajaran dosa besar sebagaimana yang ditegaskan oleh Al Haitamy, “Dosa besar yang ke- 437 dan ke- 438: memberikan dan menerima persaksian palsu“. Dan praktik jual-beli ijazah merupakan bagian dari persaksian palsu, karena lembaga yang menjual ijazah kepada seorang oknum sesungguhnya telah bersaksi bahwa oknum ini telah menempuh pendidikan sekian lama di lembaga tersebut, juga telah mengikuti ujian, dan berhak mendapat nilai sekian.
Allah telah mejelaskan sifat-sifat para hambaNya, diantara sifat mereka tidak memberikan persaksian palsu. Allah berfirman,
)وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ(
“Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu”. (Al- Furqaan:72).
Diriwayatkan dari Abi Bakrah radhiyallahu anhu, ia berkata, “Kami berada di sisi Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda,
«أَلَا أُنَبِّئُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ؟» ثَلَاثًا «الْإِشْرَاكُ بِاللهِ، وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ، وَشَهَادَةُ الزُّورِ – أَوْ قَوْلُ الزُّورِ -» وَكَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُتَّكِئًا، فَجَلَسَ فَمَا زَالَ يُكَرِّرُهَا حَتَّى قُلْنَا: لَيْتَهُ سَكَت
“Maukah kalian aku beritahu dosa yang paling besar? 3x , kami berkata, “Tentu, wahai Rasulullah,” Ia bersabda, “Berbuat syirik kepada Allah, dan durhaka kepada kedua orang tua, persaksian palsu dan perkataan dusta,” awalnya beliau bertelekan lalu duduk, beliau terus mengulang-ulang kalimat ini sehingga kami berkata, “semoga beliau berhenti”. (Muttafaq ’alaih).
Begitu juga dengan praktik contek-menyontek pada saat ulangan merupakan ghisysy yang Nabi berlepas diri dari para pelakunya. Beliau bersabda,
«مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنِّي»
“Tidak termasuk golonganku orang yang menipu“. (HR Muslim).
Akibat dari ghisysy pada saat ulangan atau membeli ijazah tidak berhenti di situ. Pada saat ijazah dan nilai ujian dipergunakan untuk melamar pekerjaan dan dia mendapat pekerjaan dengan menggunakan ijazah dengan nilai yang diperoleh dari hasil ghisysy (penipuan dengan menyontek) maka gaji yang dia terima setiap bulannya dikhawatirkan tidak halal. Karena merupakan hasil penipuan nilai dan ijazah.
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah pernah ditanya tentang seorang murid yang memberikan contekan ulangan kepada temannya, maka beliau menjawab, “Seorang murid -sama sekali- tidak boleh membantu temannya memberikan jawaban ujian, karena perbuatan ini termasuk berkhianat dan pihak yang berwenang tidak membolehkannya. Perbuatan ini termasuk pada hakikatnya adalah kezaliman terhadap murid yang dibantu, juga kezaliman dari murid yang membantu, serta tindak kejahatan terhadap lembaga pendidikan dan terhadap umat.
Perbuatan ini menzalimi siswa yang dibantu karena dia dibantu untuk melakukan sebuah perbuatan dosa, yaitu menipu. Nabi telah bersabda,
«مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنِّي»
“Tidak termasuk golonganku orang yang menipu“. (HR Muslim).
Perbuatan ini kezaliman dari murid yang membantu, karena dia telah membantu terjadinya sebuah perbuatan dosa, yaitu menipu. Dan orang yang membantu terjadinya sebuah dosa niscaya mendapatkan dosa yang sama, sungguh Nabi telah mengutuk orang yang memakan riba, yang memberikan riba, dua saksi transaksi riba dan penulis akad riba, mereka seluruhnya sama berdosa. Dari hadis ini, sangat jelas bahwa orang yang membantu terjadinya sebuah dosa dia juga berdosa.
Perbuatan ini merupakan tindak kejahatan terhadap umat, karena umat yang terdiri dari para lulusan sekolah hasil penipuan adalah sebuah umat yang berada dalam kehancuran…
Oleh karena itu, saya menasehati para siswa dan mahasiswa hendaknya mereka takut kepada Allah pada saat mengerjakan ulangan … begitu juga nasehat saya kepada para guru dan para pengawas ulangan agar takut kepada Allah dan jangan melalaikan tugas. Karena kelak di akhirat mereka akan diminta pertanggung-jawabannya terhadap tugas yang diamanahkan kepada mereka”[1].
Dalam majlis yang lain syaikh ditanya tentang hal serupa dan beliau menjawab, “Tidak boleh bagi seorang pelajar/mahasiswa berbuat curang ketika ujian, karena kecurangan tersebut termasuk dosa besar berdasarkan hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Siapa saja yang menipu kami (berbuat curang) maka dia tidak termasuk bagian dari kami”, karena dengan kecurangannya tersebut dia akan mendapatkan tanda kelulusan (ijazah) padahal dia tidak berhak menerimanya, kemudian dia mendapat pekerjaan tertentu di sebuah instansi, dimana posisi tersebut tidak diberikan kecuali kepada orang yang punya ijazah (tadi), kalau seandainya ijazahnya tersebut didapatkan dengan curang, maka dikhawatirkan gaji yang diterimanya menjadi haram (hukumnya) karena dia mengambil gaji tersebut, padahal dia tidak berhak mendapatkannya disebabkan dia tidak mendapatkan nilai (yang ada di ijazahnya) dengan cara yang benar atau lebih tepatnya dikatakan bahwa pada hakikatnya dia belum mendapatkan nilai yang membuat dia layak untuk menduduki jabatan tersebut, maka gaji yang diambilnya termasuk dalam kategori memakan harta dengan cara yang bathil“[2].
[1] Fatawa “Nuurun ala ad darb”.
[2] Ibid.