Termasuk juga transaksi yang menggunakan jasa telekomunikasi yaitu supply kontrak. Supply kontrak adalah: transaksi yang dilakukan salah satu pihak yang siap menyerahkan barang kepada pihak lain pada waktu tertentu, dimana objek barang terkadang masih berada di luar negri[1].
Misalnya: Jasa perdagangan A mengetahui produsen barang yang berada di luar negri melalui salah satu jaringan telekomunikasi. Lalu A menawarkan penjualan barang tersebut kepada pedagang B di Indonesia. Setelah B menyetujuinya, ia melakukan transaksi beli kepada A. dan setelah transaksi jual dilakukan A kepada B, maka A membeli barang dari produsen di luar negri. Dan setelah barang yang dipesan tiba di Indonesia A menyerahkannya kepada B.
Hukum Supply Kontrak
Hukum transaksi ini berbeda berdasarkan status barang:
- Barang yang menjadi objek transaksi belum tersedia dan butuh proses pembuatan.
Transaksi ini dinamakan istishna’ hukumnya boleh, baik pembayaran dilakukan di depan, pada saat barang diterima atau dengan cara angsuran berkala. Berdasarkan dalil berikut:
Diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam memesan untuk dibuatkan cincin dari emas … para sahabat juga memesan untuk dibuatkan cincin dari emas. Maka Nabi menaiki mimbar lalu memuji Allah dan bersabda,
«إِنِّي كُنْتُ اصْطَنَعْتُهُ، وَإِنِّي لاَ أَلْبَسُهُ»
“Dahulu aku memang minta dibuatkan cincin dari emas, tetapi sekarang aku tidak lagi memakainya“.
Lalu Nabi menanggalkan cincinnya dan para sahabatpun ikut menanggalkan cincinnya. (HR. Bukhari).
Hadis ini jelas menyatakan bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam melakukan akad istishna’, yang berarti hukum akadnya boleh.
Bolehnya akad istishna’ ini merupakan mazhab Hanafi dan disetujui oleh Majma’ Al fiqh Al Islami (divisi fikih OKI) dalam muktamarnya ke VII di Jeddah, tahun 1992 dengan keputusan No. 65 (3/7), yang berbunyi, “Akad istishna’ boleh dengan cara pembayaran tidak tunai keseluruhan tagihan ataupun dengan cara angsuran pada waktu yang telah ditentukan“[2].
- Barang yang menjadi objek transaksi telah tersedia di tangan produsen dan pembayaran dilakukan oleh B kepada A tunai keseluruhannya di depan pada saat transaksi dibuat.
Transaksi ini dinamakan salam[3], hukumnya boleh. Berdasarkan dalil berikut:
Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke Madinah dan beliau mendapati orang-orang melakukan akad jual-beli salam dengan objek kurma yang akan diserah-terimakan setelah 2 hingga 3 tahun. Nabi bersabda,
«مَنْ أَسْلَفَ فِي شَيْءٍ، فَليُسْلِفْ فِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ، وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ، إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ»
“Barang siapa yang melakukan akad salam, maka hendaklah ia menyerahkan (uang pembayaran barang tunai di depan) dan takarannya jelas, beratnya jelas, serta waktu penyerahannya juga jelas“. (HR. Bukhari dan Muslim).
- Barang yang menjadi objek transaksi telah tersedia di tangan produsen dan pembayaran dilakukan oleh B kepada A dengan cara tidak tunai di depan, terkadang dengan cara angsuran dan terkadang dibayar keseluruhannya setelah barang diterima.
Transaksi ini hukumnya tidak boleh (haram), karena termasuk dalam larangan Nabi yaitu A menjual barang yang belum dimilikinya kepada B.
Dari Hakim bin Hizam radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
قَالَ: يَا رَسُولَ الله، يَأْتِينِي الرَّجُلُ فَيُرِيدُ مِنِّي الْبَيْعَ لَيْسَ عِنْدِي أَفَأَبْتَاعُهُ لَهُ مِنَ السُّوقِ؟ فَقَالَ: «لَا تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ»
“Wahai, Rasulullah! seseorang datang kepadaku untuk membeli suatu barang, kebetulan barang tersebut sedang tidak kumiliki, apakah boleh aku menjualnya kemudian aku membeli barang yang diinginkan dari pasar? maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,”Jangan engkau jual barang yang belum engkau miliki!” (HR. Abu Daud. Hadis ini dishahihkan oleh Al-Albani).
Bentuk akad antara A dan B sama persis kasusnya dengan yang ditanyakan oleh sahabat Nabi dimana barang belum lagi dimiliki oleh penjual A, namun A telah menjualnya kepada B.
Dan akad ini juga termasuk jual beli utang dengan utang (uang atau barang tidak diserahkan pada saat akad disepakati). Dan hukum jual beli utang dengan utang haram berdasarkan Ijma’ para ulama sebagaimana yang dinukil oleh imam Ahmad, ia berkata, “Tidak ada satupun hadis yang shahih tentang larangan jual beli utang dengan utang akan tetapi para ulama telah sepakat bahwa jual beli ini tidak dibolehkan“. Ibnu Munzir juga berkata,”Para ulama telah sepakat bahwa jual beli utang dengan utang tidak dibolehkan“[4].
Ini yang difatwakan oleh Majma’ Al fiqh Al Islami (divisi fikih OKI) dalam muktamarnya ke XII di Riyadh, tahun 2000 dengan keputusan No. 107 (1/12), yang berbunyi, “Supply Kontrak, dimana uang pembayaran tidak dibayar tunai di depan maka akadnya tidak boleh … dan termasuk jual beli utang dengan utang“.
Solusi Syar’i: Solusi untuk kasus transaksi supply kontrak jenis ini, yaitu: A (penjual) hanya sekedar menjanjikan kepada B untuk menjual barang dan B juga sekedar berjanji untuk membeli dan janji ini tidak mengikat –andai salah satu pihak menarik janjinya tidak dikenakan sanksi apapun-. Setelah barang diterima oleh A dari luar negri maka saat itu A dan B dibolehkan membuat akad jual beli[5].
Dana Talangan Haji
Setiap muslim memendam kerinduan untuk berziarah ke baitullahil ‘atiq menunaikan rukun islam ke-5. Sebagai bukti dari firman Allah,
)وَإِذْ جَعَلْنَا الْبَيْتَ مَثَابَةً لِلنَّاسِ(
“Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat (manusia datang kepadanya akan ingin kembali)”. (Al- Baqarah: 125).
Demi pelepasan rindu ini, berbagai cara dilakukan oleh kaum muslimin. Ada yang menyisihkan sebagian hartanya sedikit demi sedikit agar terkumpul biaya ongkos naik haji. Dan dewasa ini ada sebuah usaha yang dilakukan oleh lembaga keuangan syariah untuk mengambil alih penghimpunan dana dengan cara memberikan dana talangan haji. Produk ini dilegalkan oleh fatwa DSN NO:29/DSN_MUI/VI/2002 tentang “Pembiayaan Pengurusan Haji Lembaga Keuangan Syariah“[6].
Namun dalam prakteknya masih terdapat keraguan akan kehalalan produk ini.
Kepastian akan kehalalan atau tidaknya produk ini sangat berhubungan dengan kemabruran haji orang yang mendapatkan dana produk ini.
Diriwayatkan oleh Thabrani, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«إِذَا خَرَجَ الرَّجُلُ حَاجًّا بِنَفَقَةٍ طَيِّبَةٍ، وَوَضَعَ رِجْلَهُ فِي الْغَرْزِ، فَنَادَى: لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ، نَادَاهُ مُنَادٍ مِنَ السَّمَاءِ: لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ، زَادُكَ حَلَالٌ، وَرَاحِلَتُكَ حَلَالٌ، وَحَجُّكُ مَبْرُورٌ غَيْرُ مَأْزُورٍ، وَإِذَا خَرَجَ بِالنَّفَقَةِ الْخَبِيثَةِ، فَوَضَعَ رِجْلَهُ فِي الْغَرْزِ، فَنَادَى: لَبَّيْكَ، نَادَاهُ مُنَادٍ مِنَ السَّمَاءِ: لَا لَبَّيْكَ وَلَا سَعْدَيْكَ، زَادُكَ حَرَامٌ وَنَفَقَتُكَ حَرَامٌ، وَحَجُّكَ غَيْرُ مَبْرُورٍ»
“Apabila seorang berangkat untuk menunaikan ibadah haji dengan harta yang halal, saat dia menginjakkan kakinya ke atas kendaraan, ia menyeru, “Labbaikallahumma labbaik”, maka ada yang menyeru dari langit, “Diterima hajimu dan engkau berbahagia, bekalmu berasal dari harta halal, kendaraanmu dibeli dari harta halal, dan hajimu mabrur dan diterima”. Dan apabila ia berangkat dengan harta haram, saat dia menginjakkan kakinya ke atas kendaraan, ia menyeru, “Labbaikallahumma labbaik”, maka ada yang menyeru dari langit, “Tidak diterima kedatanganmu dan engkau tidak mendapatkan kebahagian, bekalmu berasal dari harta haram, biaya hajimu dari harta haram dan hajimu tidak mabrur“. (HR. Thabrani, hadis ini dinukil oleh syaikh Ibnu Baz dalam bukunya dan beliau menyetujuinya).
Untuk menjernihkan permasalahan ini, mari kita lihat produk ini dari tinjauan fikih.
Bentuk akad dana talangan haji yaitu: seseorang yang ingin mendaftar haji datang ke salah satu lembaga keuangan syariah lalu mendaftarkan diri untuk haji dengan membuka rekening tabungan haji, serta membayar saldo minimal 500ribu rupiah. Kemudian agar ia mendapatkan kepastian seat untuk tahun berapa maka ia harus melunasi sebanyak 20juta rupiah. Bank dapat memberikan dana talangan dengan pilihan 10juta rupiah, 15juta rupiah, 18juta rupiah[7].
Andai pendaftar memilih talangan 18juta rupiah berarti ia mengeluarkan dana tunai sebesar 2juta rupiah. Dan 18juta rupiah akan ditalangi oleh Lembaga Keuangan Syariah. Utang pendaftar haji ini ke LKS sebanyak 18juta rupiah akan dibayar secara angsuran selama 1tahun ditambah dengan biaya administrasi sebanyak 1,5juta rupiah. Sehingga yang harus dibayarnya ke LKS menjadi 19,5juta rupiah. Jika dalam setahun tidak terlunasi hutangnya kepada bank maka ia dikenakan biaya administrasi baru.
Andai pendaftar memilih talangan 15juta rupiah berarti ia mengeluarkan uang tunai sebesar 5juta rupiah. Dan 15juta akan ditalangi oleh Lembaga keuangan Syariah. Utang pendaftar haji ini ke LKS sebanyak 15juta akan dibayar secara angsuran selama 1tahun ditambah dengan biaya administrasi sebanyak 1,3juta rupiah. Sehingga yang harus dibayarnya ke LKS menjadi 16,3juta rupiah. Jika dalam setahun tidak terlunasi hutangnya kepada bank maka ia dikenakan biaya administrasi baru.
Andai pendaftar memilih talangan 10juta rupiah berarti ia mengeluarkan uang tunai sebesar 10juta rupiah. Dan 10juta akan ditalangi oleh Lembaga keuangan Syariah. Utang pendaftar haji ke LKS sebanyak 10juta rupiah akan dibayar secara angsuran selama 1tahun ditambah dengan biaya administrasi sebanyak 1juta. Sehingga yang harus dibayarnya ke LKS menjadi 11juta rupiah. Jika dalam setahun tidak terlunasi hutangnya kepada bank maka ia dikenakan biaya administrasi baru.
Tinjauan Fikih
Dalam produk dana talangan haji ini ada dua akad yang digabung dalam sebuah produk, yaitu akad qardh (pinjam meminjam) dalam bentuk pemberian talangan dana dari pihak bank kepada pendaftar haji. Dan akad yang kedua adalah ijarah (jual beli jasa) dalam bentuk ujrah (fee administrasi yang diberikan oleh pendaftar haji sebagai pihak terhutang kepada bank sebagai pemberi pinjaman). Menggabungkan akad qardh dengan ijarah telah dilarang oleh Rasulullah shallahu alaihi wa sallam,
«لاَ يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ»
“Tidak halal menggabungkan akad pinjaman dan akad jual beli“. (HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh Al Albani).
Dan akad ijarah termasuk akad jual-beli, yaitu jual-beli jasa.
Maka dengan demikian produk ini bertentangan dengan hadis Nabi karena akad ijarah bisa dimanfaatkan oleh pemberi pinjaman untuk mengambil laba dari pinjaman yang diberikan sehingga termasuk dalam larangan pinjaman yang mendatangkan manfaat (keuntungan).
Selaian hadis di atas juga para ulama telah sepakat haramnya penggabungan akad pinjaman dan jualbeli. Ijma’ ini dinukil oleh beberapa ulama, diantaranya;
Al Qarafi berkata,
وَبإِجْماعِ الأُمَّة عَلَى جَوازِ البَيْعِ والسَّلَف مُفْتَرِقَيْنِ وتَحْرِيْمُهُما مُجْتَمِعَيْنِ لِذَرِيْعَةِ الرِّبَا
“Umat Islam telah sepakat bahwa boleh hukumnya jualbeli dan utang piutang yang terpisah kedua akad tersebut, akan tetapi haram menggabungkan kedua akad tersebut dalam satu akad, karena ini merupakan celah untuk terjadinya riba“[8].
Pernyataan yang sama juga dinukil Az Zarkasyi dalam bab pembahasan sadduz zariah (larangan terhadap sarana)[9].
Namun bila pintu pengambilan keuntungan ini dapat ditutup rapat maka akad ini dapat dibolehkan sebagaimana difatwakan oleh berbagai lembaga fikih Internasional. Dan sebagaimana yang dinyatakan dalam fatwa DSN yang membolehkan mengambil biaya administrasi yang nyata-nyata diperlukan dalam jumlah tetap dan bukan berdasarkan besarnya pinjaman.
Namun, fatwa tersebut tidak dijalankan pada praktek yang dijelaskan sebelumnya, dimana besarnya biaya administrasi bervariasi berdasarkan besarnya pinjaman yang diberikan oleh bank. Ini jelas-jelas bahwa pihak bank tidak sekedar menarik biaya administrasi yang nyata-nyata diperlukan akan tetapi di sana telah dimasukkan laba dari pinjaman. Maka jelas ini hukumnya termasuk riba.
Jika dilihat dari persentase besarnya biaya administrasi ini, yaitu sekitar 10 % dari besarnya pinjaman, ini hampir sama dengan bunga pinjaman yang ditarik oleh bank konvensional.
Dan juga pada saat pendaftar haji yang berstatus sebagai peminjam tidak mampu melunasi utangnya dalam waktu 1 tahun yang diperjanjikan maka ia akan dikenakan uang administrasi. Ini sama dengan riba jahiliyah, ketika peminjam tidak mampu mengembalikan utang dikenakan denda, hanya saja ini ditukar namanya dengan biaya administrasi.
Himbauan
- Untuk lembaga keuangan syariah agar menerapkan fatwa DSN dan tidak keluar dari fatwa, yaitu menarik biaya admnistrasi yang nyata-nyata diperlukan dengan besarnya biaya tetap, tidak berdasarkan besarnya pinjaman. Jika ini dilanggar akan menyebabkan jatuh ke dalam riba.
- Untuk DSN, selain mengeluarkan fatwa diharapkan dapat memberikan sanksi bagi lembaga-lembaga yang menerapkan produk tidak sesuai dengan yang difatwakan melalui Dewan Pengawas Syariah yang terdapat di setiap bank syariah.
- Untuk masyarakat yang mendaftar haji, jangan sampai terjebak dalam produk ini karena mengandung syubhat riba yang berakibat terhadap hajinya menjadi tidak mabrur karena berangkat menggunakan harta yang diperoleh dengan cara riba. Hendaklah ia membayar tunai sebanyak 20 juta rupiah agar bisa mendapatkan kepastian seat untuk tahun keberangkatan, dan jangan menggunakan dana talangan bank.
- Bagi pendaftar yang telah terlanjur, maka ingatlah firman Allah:
)فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ(
“Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu; dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”. (Al- Baqarah:275).
[1] Prof. Dr. Al Khatslan, Fiqh Muamalat Maaliyyah Mu’ashirah, hal. 141.
[2] Journal Fiqh Council, edisi VII, jilid. 2, hal 223.
[3] Salam: adalah jual beli barang dengan cara indent, uang diserahkan tunai di muka dan barang diserahkan nanti pada waktu yang disepakati.
[4] Ibnu Qudamah, Al Mughni, jilid IV, hal 37.
[5] Al Khatslan, Fiqh Muamalat Maaliyyah Mu’ashirah, hal. 141.
[6] Himpunan Fatwa DSN 2006, hal 176.
[7] Deskripsi ini berdasarkan penelitian sdri. Nur Uyun dalam skripsinya yang diajukan ke UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, dengan judul, “Analisis Manajemen Pembiayaan Dana Talangan Haji pada PT. Bank Syariah Mandiri Cabang Malang“, th. 2010.
[8] Al Furuq, jilid III, hal 266.
[9] Lihat. Al Bahr Al Muhith, jilid VIII, hal 91.